#under_header{ margin:10px 0; padding:1%; width:98%; }

Facebook Badge


"selamat datang di sarang semut ijo"
 

Senin, 29 Maret 2010

Cerpen Belum Ada Judul

Seorang nenek tua sambil memegang tokat dengan lambatya menelusuri pasar yang becek dan penat demi untuk membeli keperluan hidupnya, ditengah kerumunan orang banyak yang tak memperdulikan akan keberadaanya iapun begitu sabar berjalan selangkah demi selangkah dari tokoh ke tokoh yang lain sesekali ia berhenti untuk menghela nafas. Setelah semua keperluannya dibeli ia pun bersegera untuk pulang dengan bejalan melewati gang-gang sempit, menyebrangi jalan yang ramai oleh kendaraan tanpa seorangpun yang menuntunnya hingga setelah menempuh jarak yang cukup jauh barulah ia sampai di sebuah gubuk tua yang sudah hampir rubuh. Dengan seorang diri ia membesarkan cucunya yang masih berumur empat tahun, kesehariaanya hanyalah menjahit dengan sedikit penghasilan cukuplah untuk makan setiap harinya. “Mau apalagi yang bisah aku lakukan hanya menjahit” kata nenek itu kepada seorang pelanggan. Begitulah hari demi hari sang nenek lewati dengan penuh rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Suatu ketika tedengar suara tangisan dan kemarahan dari luar gubuknya, sang nenekpun terbangun dari tidur siangnya dan bergegas keluar. Setibanya ia di luar, iapun terkejut dengan mata membelalak melihat sebuah mobil besar yang siap meratakan apapun yang ada didepannya dan puluhan orang-orang berseragam yang masing-masing membawa pentungan dintanganya. Setelah beberapa menit ia pun terbangun dan sadar apa yang sebernarnya terjadi, dengan begitu berani nenekpun maju memarahi orang-orang berseragam itu sambil menujuki satu persatu dari mereka dengan tokatnya. Namun apalah ia hanya seorang nenek yang sudah tua rentah, orang-orang berseragam tak menghiraukan apapun yang keluar dari mulut sang nenek ini. Merekapun mulai merubuhkan satu persatu rumah-rumah yang ada, tiba pada giliran rumah sang nenek, ketika itu sang nenekpun menangis, memohon dengan sangat kepada orang-orang berseragam itu. Namun apalah dikata orang-orang ini memang tak punya perasaan, tak punya hati nurani,dengan satu perintah mobil buldoserpun berjalan siap merubuhkan rumah sang nenek disaat mobil mulai beraksi, sang nenek teringat dengan cucunya yang sedang tertidur nyeyak didalam gubuknya. Iapun berlari ingin menyelamatkan cucunya ketika ia mulai memengang gagang pintu gubuk miliknyapun rubuh pada saat itu pula tubuhnya tertindih oleh tumpukan kayu, “apalah daya tubuh ini sudah tua dan tak mampu berbuat apa-apa lagi, maafkan aku cu’ tak mampu menyelamatkan dirimu dari lintah-lintah darat ini” inilah ucapan yang sempat ia katakan sebelum ajal menjemputnya.

Semua tinggal kenangan yang ada hanyalah sepenggal kisah yang menjadi dongeng setiap harinya. Kini rumah sang nenek menjadi sebuah apartement yang besar disampingnya berdiri gedung-gedung pencakar langit yang begitu dibanggakan oleh mereka sang lintah pengisap darah.

ARTI KITA DI DUNIA YANG RUMIT INI


Jika mata tak lagi melihat
Telinga tak mampu mendengar
Dan mulut tak bisah bersuara
Apakah ini akhir dari dunia ini

Bagaimana dengan si buta itu
Bagaimana dengan si tuli itu
Bagaimana dengan si bisu itu
Apakah bagi mereka dunia sudah berakhir

Tidak kata seseorang yang sedang memegang tokat sambil membungkuk
Masih ada cinta dan harapan disekeliling mereka
Dunia hanyalah sebuah ladang yang siap dipanen
Jadi apalah arti kita di dunia yang rumit ini